Tonggo, sebuah bendera putih menjulang tinggi di langit balai Adat Kalimo Suku Padang Panjang. Di sepanjang jalan, marawa kuning merah hitam pun berkibar begitu semarak. Sementara itu, dari depan balai, tampak pula pernak pernik keminangkabauan menghiasi setiap dindingnya.
Benar, pada sabtu pagi, 4 Februari lalu, masyarakat jorong Padang Panjang tampak begitu sibuk. Mereka sedang baralek gadang. Alek naiak kalimo suku. Alek naiak kalimo suku merupakan satu tahapan penting bagi para penghulu baru yang diangkat di wilayah adat Padang Panjang. Wilayah adat ini disebut dengan Kalimo Suku. Kalimo suku di nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang dimaknai sebagai satu sub wilayah adat yang ada di bawah Kerapatan Adat Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang.
Dalam alek tersebut, terlihat para perempuan, tua dan muda hilir mudik menuju balai adat. Mereka begitu ayu dengan mengenakan pakaian yang begitu khas, baju basiba. Tak lupa, masing-masing mereka, menjujung sebuah talam yang ditutupi dengan kain berbagai corak pula. Talam tersebut disusun begitu rapi di dalam balai adat.
Selain itu, terlihat pula laki-laki dengan setelan yang khusus. Bercelana batik, berbaju guntiang cino. Di leher mereka sarung hitam melekat. Sementara, di kepala masing-masing peci hitam balilik terpasang begitu gagah dan penuh wibawa. Mereka adalah para datuk dengan pangkat tertentu secara adat. Ada yang kaampek suku, andiko, serta juga ada yang tuo kampuang. Yang jelas, mereka adalah para pemimpin di kaum masing-masing di nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang.
Tak kalah gagahnya, 6 orang berpakaian hitam bertabur benang emas. Bercawat dan bersesamping merah, keris disisip di pinggang, dan di tangan mereka ada pamenan berupa tongkat. Mereka dikawal oleh para lelaki berpakaian merah.
Mereka adalah, Roni Putra Datuak Marajo Ciindo dari pasukuan Payobada. Elgi Saputra Permana Datuak Ciindo Marajo dari pasukuan Payobada. Hadyan Ahmad Datuak Bagindo Kayo dari pasukuan Payobada. Alvianto Datuak Bijo dari pasukuan Bendang. Iswandi Datuak Banso Dirajo dari pasukuan Piliang. Serta Mahmudal Walazim Datuak Patiah dari pasukuan Supanjang.
Dengan diiringi bebunyian Talempong dan gendang, mereka di arak beriringan di jalan utama jorong Padang Panjang. 6 orang ini lah yang akan diumumkan kepada seluruh orang di nagari, bahwa mereka telah memiliki gelar datuk. Yang dituakan selangkah dan ditinggikan seranting oleh kaum mereka masing-masing. Mereka adalah pemimpin baru di masing-masing kaum.
Selain orang-orang adat, turut hadir pula orang-orang dari pemerintahan. Mulai dari pemerintah Nagari, Camat, hingga Bupati lima puluh kota. Anggota DPRD Kabupaten dan juga DPR Provinsi juga ikut berbangga duduk dalam kemegahan adat tersebut. Turut diundang pula lembaga-lembaga pemerintahan yang mengurus adat. Mulai dari Kerapatan Adat Nagari, LKAM Kecamatan, hingga LKAM Kabupaten Kota.
Pagi yang cerah itu pun pecah setelah pantun demi pantun dari pejabat pemerintah saling berbalas. Padahal sebelumnya, satu prosesi yang begitu khidmat terlaksana dengan suasana yang harap-harap cemas. Diantaranya, pidato pelewaan yang dibacakan oleh kerapatan adat, serta penyisipan keris olah ka-ampek suku masing-masing penghulu yang dilewakan.
Tentu, dengan telah dilewakan para penghulu baru tersebut dihadapan orang-orang seisi nagari, serta telah disisipkan pula sebilah keris di pinggang masing-masing, tentu sudah sah pula mereka menyandang gelar pasukuan. Mak, tentu orang seisi nagari tidak bisa seenaknya memanggil mereka dengan nama kecil. Mereka mesti dipanggil dengan gelar masing-masing. Karena mereka kini telah ditinggikan seranting, dan didahulukan selangkah. Tidak hanya di pasukuan masing-masing, tentu saja berlaku dalam kehidupan bakorong bakampuang.
“Saya lihat ini proses yang sudah sebagaimana mestinya,” puji bapak bupati Safarudin Datuak Bandaro Rajo kepada panitia penyelenggara. Barangkali di banyak tempat ia sering melihat pelewaan niniak mamak dilakukan oleh pemerintah dan dan juga lembaga-lembaga bentukan pemerintah. Sedangkan adat ini bukanlah ranahnya pemerintah. Adat sudah ada jauh sebelum pemerintah (Negara) ini ada. Lantas, kenapa pula prosesi adat yang khidmat ini dilakukan oleh pemerintah?
“Memang, ini menjadi perdebatan kami di panita sebelum hari pelaksanaan,” kata Sriwidodo Datuak Marajo nan Hitam selaku panitia penyelengara. “Bahwa, ini adalah ritual adat, mestinya dilaksanakan oleh orang-orang adat.”
Rangkaian peristiwa adat ini tidak hanya sampai disitu. Pada malam harinya masih digelar beberapa pertunjukan. Dan, meskipun diguyur oleh hujan sedari sore, namun, pementasan randai Sabai Nan Aluih tetap berlangsung meriah dan menghibur masyarakat.