Minangkabau, merupakan sebuah etnis yang sangat dominan di Sumatera Barat. Etnis ini mempunyai banyak ragam budaya yang sangat banyak, kearifan-kearifan, kebiasaan-kebiasaan, serta pola kehidupan masyarakatnya sangat menarik untuk ditelusuri. Sebutlah salah satunya menyoal lapau. Sebuah institusi non formal yang menjadi ruang paling demokratis.
Barangkali,lapau bukanlah sebuah kosa kata yang asing bagi kita di Minangkabau, terutama bagi kauml aki-laki. Karena sudah menjadi keseharian dan agaknya menjadi hal yang sangat penting untuk hadir dilapau. Sebaliknya, akan ada hal yang terlewatkan jika sekali saja absen menghadiri lapau. Selain surau, seolah lapau adalah segalanya setelah rumah menjadi milik kaum perempuan.Lapau seolah menjadi sebuah institusi yang wajib untuk dikunjungi, lihat saja betapa lapau satu-satunya tempat yang tidak pernah sepi. Dalam sehari lapau bias dikunjungi 3 kali sehari bahkan lebih. Diantaranya pagi hari sebelum masyarakat berangkat bekerja, siang setelah istirahat bekerja, serta malam hari sambil melepaskan dan merebahkan penat siang hari. Bahkan mereka seolah lebih memilih lapau dari pada rumah sendiri atau rumah mertua mereka sendiri.
Lantas, apa yang ditawarkan oleh lapau itu sendiri?
Secara kasat mata lapau terlihat sangat sederhana. Sebuah bangunan berukuran 5x6 meter, ada yang terbuat dari batu, atau ada juga dari papan. Di lapau kita menemukan menu yang juga sederhana sekali, seperti kopi, teh, susu, tehtelor, sekarang juga sudah banyak kemasan sachet untuk minuman-minuman instan, serta juga ada roti, kue-kue berbagai macam ragam, serta jajanan khas seperti goring pisang, godok, ketan, kacang padi (ijo), pinyaram, dan banyak yang lainnya. Namun apakah lapau sangat sederhana itu?
Kala kita mendatangi lapau dimalam hari (biasanya sehabis magrib), maka akan ditemukan beberapa orang memainkan beberapa permainan pelepas malam, seperti domino, ceki (kowa) dan dapat dipastikan mereka akan bermain seraya menyeruput minuman yang mereka pesan.
Bagi pemilik lapau apakah juga akan menjadi satu-satunya mesin perputaran ekonomi? Tampaknya tidak, dapat dilihat dari daya beli dan belanjaan masyarakat yang duduk di lapau. Namun apa sebenarnya yang dihasilkan oleh institusi lapau tersebut?
Dengan sistim kekerabatan matrilineal seolah Minangkabau adalah ranah yang didominasi oleh kaum perempuan, dan laki-laki sebagai pelaksana teknis. Sontak saja laki-laki tidak mendapatkan tempat yang strategis di dalam rumahnya sendiri, wilayah kaum laki-laki selain surau, dan rantau, juga ada lapau. Lapau memang sebuah tempat yang sangat sederhana, namun kehadiran lapau memiliki sebuah cerita atau narasi yang sangat besar dengan kompleksitasnya. Lapau tempat berdiskusi, tempat mendapatkan informasi politik, sosial, budaya, tempat beradu argumen, tempat menepuk dada menunjukkan kelaki-lakian di Minangkabau.
Kalau diperhatikan dari cara atau posisi orang duduk di lapaua kan terlihat pula bagaimana keberadaan orang tersebut dalam sebuah pergaulan di Masyarakat, misalnya orang yang tidak bias berdebat, orang yang tidak punya pengetahuan luas tentang segala sesuatu hal maka orang tersebut dengan sendirinya akan memilih duduk di paling ujung dan paling sudut, dan hanya akan menjadi pendengar setia dalam memahami diskusi yang ada di lapau tersebut.
Lapau sesungguhnya adalah tempat mediasi, tentang kehidupan, tentang pertumbuhan suatu nagari di Minangkabau, semua inspirasi muncul dan diperdebatkan di lapau, barang kali ketidak mungkinan yang menjadi mungkin itu berasal dari lapau.[KERON]