Warta Nagari--Para pegiat festival berbasis masyarakat dari berbagai kota berkumpul di Yogyakarta untuk mengikuti Workshop Tata Kelola Festival pada Jumat 20 September 2019. Mereka datang dari Medan, Aceh Pekanbaru, Payakumbuh, Limapuluhkota, Pontianak, Tabalong, Ciamis, Gresik, Sumenep, dan Yogyakarta. Acara ini diselenggarakan Yayasan Umar Kayam bersama Jaringan Begawai Nusantara, didukung oleh Ford Foundation.
“Festival berbasis masyarakat ini patut mendapatkan tempat dalam perbaikan ekosistem kebudayaan kita. Bukan saja karena pijakan sosialnya yang kuat, namun juga keragaman bentuk dan tata kelolanya. Kita menjadi sadar bahwa kita kaya,” papar Kusen Alipah hadi selaku direktur Yayasan Umar Kayam Yogyakarta.
Sehari sebelumnya para pegiat festival ini juga ambil bagian dalam Simposium Festival Warga yang diselenggarakan Yayasan Umar Kayam bekerjasama dengan Pascasarjana ISI Yogyakarta, didukung oleh Kemendikbud RI.
“simposium ini kami namakan dengan festival warga, dimana hari ini maraknya penyelenggaraan festival-festival yang diprakarsai oleh warga masyarakat itu sendiri. Sangat berbeda dengan banyak festival yang sering kita lihat, dimana anggaran pemerintah menjadi kunci terselenggaranya sebuah festival,” begitu Kurniawan A. Saputro selaku Asisten Direktur I bidang Akademik membuka simposium.
Simposium ini menurut Pak Kurniawan lagi, mempunyai dua kepentingan. Pertama, memepertemukan pelbagai palaku festival-festival masyarakat itu sendiri untuk kemudian bisa saling berbagi pengalaman. Kedua, bagaimana kemudian mahasiswa program studi tata kelola seni di pascasarjana ISI Yogyakarta bisa belajar mengelola peristiwa-peristiwa seni, organisasi-organisasi seni, serta tata kelola seni yang berbasis warga masyarakat. Karena menurut Pak Kurniawan, belum adanya literatur-literatur yang mengajarkan tentang itu.
Sementara itu, direktur kesenian kementrian pendidikan dan kebudayaan, Dr. Restu Gunawan mengatakan bahwa melalui sebuah flatform kebudayaan yang dinamakan dengan Indonesiana, pemerintah seyogyanya juga punya semangat yang sama dengan itu. Bagaimana kemudian mendorong tumbuh kembangnya festival-festival yang diinisiasi oleh warga masyarakat.
Workshop satu hari di Sarang Building tersebut menghadirkan Yustina Neni—budayawan pengelola Kedai Kebun Forum dan mantan Direktur Biennale Yogyakarta. Dalam acara ini Yustina Neni berbagi pengalamannya dalam mengelola festival terutama dalam hal pengelolaan pendanaan dari donor dan pemerintah, termasuk bagaimana membangun ekosistem yang sehat untuk menumbuhkan seniman dan pekerja seni yang baru.
Pengelolaan festival berbasis warga memang memerlukan langkah-langkah berani untuk menghadapi berbagai kerumitan. Hal ini misalnya menyangkut masalah legalitas terutama jika harus membangun kerja bersama dengan birokrasi.
Dalam diskusi berkembang juga ide-ide pengorganisasian yang unik. Bagi para peserta, tata kelola festival warga memang membutuhkan pengorganisasian yang inklusif sekaligus jaringan yang luas. Hampir mustahil menyelenggarakan festival dan mempertahankan keberlanjutannya tanpa dilandasi keterlibatan banyak pihak dan pijakan sosial yang kuat. Hal ini sekaligus akan memperkuat posisi tawar, terutama ketika berhadapan dengan birokrasi (pemerintah).
Dalam workshop ini juga mengemuka berbagai persoalan dari berbagai festival. Masing-masing lokal punya persoalan tersendiri mengenai pengelolaan pendanaan baik dari warga, swasta, maupun dari pemerintah, termasuk bagaimana bersiasat dengan problem-problem itu. Namun satu hal yang sama dan menjadi benang merah adalah semua berupaya untuk memantapkan kemandirian dan keberlanjutan festival di daerah masing-masing.
Mengenal Legusafest
Merupakan Festifal Warga Nagari (desa) Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang
Doc. Legusafest-- Nagari (desa) Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang, begitu nama yang tercatat dalam administrasi kementrian dalam negeri, sesuai pula dengan surat keputusan Bupati Lima Puluh Kota Nomor 171 Tahun 2009. Sebuah nagari yang melandai di kaki Gunung Sago, Kec. Luhak, Kab. Lima Puluh Kota. Jika datang dari arah kota Payakumbuh, terus saja mendaki ke arah selatan (Ampangan), di sebelah kirinya sebuah bukit gambut membesut. Nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang ada di sebaliknya. Nagari tempat tumbuh berkembangnya lebih kurang 5.000 jiwa, yang dengan suka cita menggantungkan penghidupan pada lahan pertanian dan perkebunan yang lebih kurang 1.000 Ha luasnya.
Pada lahan itu pulalah anak nagari mencuatkan ekspresi-ekspresi kultural berupa kesenian. Mereka menyebutnya dengan Legusa Festival. Sebuah perayaan aktivitas kesenian anak nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang. Dimana, setiap jorong (dusun) yang ada didorong untuk membuat sebuah kelompok kesenian, kemudian berproses selama 3-4 bulan yang didampingi oleh seorang fasilotator. Hasil proses inilah yang kemudian dirayakan secara kolektif dengan semangat kegotong royongan, berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain, seolah sedang menabur benih kesenian di dalam masyarakat.
Menariknya, disamping sebagai pemain, mereka juga bertindak sebagai pengelola. Pengalaman-pengalaman keindahan masing-masing diluapkan ke dalam tata artistik. Sebuah kerja kolektif, namun dengan pikiran masing-masing. Sesuatu yang dirasa artistik menurut salah seorang, maka yang lain mengiyakan dengan bersama-sama, seraya membantu mewujudkannya.
Menariknya lagi, kegiatan ini juga menjadi kesibukan tersendiri bagi masyarakat lainnya. Ibu-ibu misalnya, mereka mau untuk sibuk membuatkan konsumsi, kopi dan penganan-penganan khas untuk para pekerja yang menyiapkan pementasan. Para pedagang, sejak sorenya sudah mengkapling tempat tertentu untuk menggelar dagangannya. Anak-anak berbedak tebal, orang-orang tua dengan sebo di kepala berkelumun dalam sarung, seolah tak mau tinggal diam, seolah mereka ingin menjadi bagian penting dalam perayaan itu.
Tahun ini adalah tahun kedua penyelenggaraan. Setahun sudah perayaan kesenian ini digelar, hampir setahun itu pula pembicaraan mengenainya (baca:legusa) tidak putus-putusnya. Ada saja dari anak-anak yang lain yang ingin menceburkan diri mereka untuk berekspresi. Kenapa tidak, disetiap jorong yang ada telah memiliki sebuah kelompok kesenian. Carano Badantiang dari jorong Tanjung Haro Selatan (THS), Rantak Sadaram dari jorong Padang Panjang, Puti Indah Jalito dari jorong Bukik Kanduang, Sabai Nan Aluih dari jorong Tanjung Haro Utara, Puti Ambang Bulan dari jorong Sikabu-Kabu yang sudah ada sebelumnya, serta Santan Batapih dari jorong Lakuak Dama yang juga sudah ada sebelumnya.