Legusafest 2020, Nagari -- Tahun ini, 2020, merupakan tahun ketiga penyelenggaraan Legusa Festival. Sebuah perayaan aktivitas seni anak nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang, Kec. Luak, Kab. Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Sebuah peristiwa kesenian yang diinisiasi oleh karang taruna bidang seni dan budaya serta didukungnya oleh Pemerintahan Nagari Tj.Haro Sikabu-kabu Pd.Panjang yang telah menganggarkan untuk kegiatan karang taruna tersebut didalam APB Nagari tahun anggaran 2020 sebesar Rp 35.000.000 .
Awalnya, oleh karang taruna, Legusa Fest dimulai dengan pemetaan aktivitas-aktivitas kesenian yang ada di nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang. Dari pemetaan tersebut, didapatlah apa yang kemudian disebut sebagai modal kultural. Yaitu, bertemu dan terjalinnya silaturahmi dengan para pelaku kesenian, terceritakan kembali ragam kesenian dan kelompok-kelompok kesenian yang ada dan pernah ada di nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang.
Maka, dengan modal peta tersebut, bagaimana kemudian bisa ditransfer kepada generasi yag lebih muda. Maka, diajaklah anak-anak nagari untuk menyusuri kembali lekuk demi lekuk jalan kesenian nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang. Dimana, setiap jorong (dusun) didorong untuk membuat kelompok-kelompok kesenian, baik itu musik, tari, maupun drama. Masing-masing kelompok-kelompok akan berproses bersama seorang pendamping, yang mefasilitasi pelahiran-pelahiran bunyi, gerak, ataupun lakon. Hasil proses inilah yang menjadi semacam ekspresi kultural anak nagari, yang kemudian dirayakan dalam bentuk seni pertunjukan.
Dua tahun sudah perayaan ini terselenggara. selama dua tahun itu pula anak-anak nagari mengumpulkan aset kulturalnya kemudian mengkonstruksinya menjadi sebuah peristiwa. Setelah dua tahun itu, lantas kemudian bermunculan hal-hal yang di uar dugaan. Beberapa komunitas di luar kesenian telah ingin pula menjadi bagian perayaan itu.
Memang, dari dua tahun itu, karang taruna telah melihat dampak berupa semangat yang begitu euforis, bahkan sporadis. Setiap komunitas yang ada di nagari hendak ingin membuat peristiwanya masing-masing, bahkan ingin setiap bulannya ada sebuah peristiwa.
Melihat fenomena serupa itu, rasanya festival bisa dijadikan sebagai titik kumpul ragam komunitas dalam masyarakat. Mengingat kemungkinan itu, maka Karang Taruna sebagai penggagas awal sekaligus penyelenggara festival kembali melakukan pemetaan ulang. Membuat peta baru terkait apa yang dibaca sebagai yang potensial, untuk kemudian dirayakan secara bersama. Barangkali, ke depannya Legusa Festival tidak lagi hanya merayakan aktivitas-aktivitas kesenian saja. Bisa saja aktivitas-aktivitas lainnya, serupa pertanian, permainan-permainan anak nagari, olah raga, bahkan aktivitas-aktivitas keagamaan sekalipun.
Menentukan arah Legusa Fest
Dari apa yang terpetakan, dari situ, munculah beberapa tawaran-tawaran baru. Kenapa tidak mengajak anak-anak nagari yang tergabung dalam Persatuan Olah Raga Terbang Itik (PORTI). Padahal, sudah sejak lama mereka memiliki alek yang terbilang cukup masif. Sebuah pesta tahunan anak nagari para pecandu itik (bebek) terbang. Sebuah permainan rakyat yang sudah turun temurun di Luak Lima Puluh—penyebutan untuk Kab. Lima Puluh Kota dan kota Payakumbuh. Seperti halnya pacuan kuda, bebek-bebek mereka latih selama 3-4 bulan lebih untuk kemudian diperlombakan dengan jarak-jarak tertentu. Mulai dari jarak 800 meter hingga 1600 meter.
Kenapa pula tidak mencoba mengajak para pelaku usaha dan jasa kecil maupun menengah di nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang. Tawaran ini tentu akan mendorong lahirnya semacam pasar rakyat, sebuah tempat bagi mereka memasarkan produk-produk usaha mereka.
Adapula Majelis Ulama Nagari (MUNA) yang juga sudah sejak lama menginisiasi program-program keagamaan. Tentunya akan menarik pula jika aktivitas-aktivitas keagamaan itu dicoba dibungkus dalam balutan kesenian. Seperti, MTQ, bedug takbiran, hingga solawatan.
Maka, setelah menggelar forum demi forum, dari hasil pemetaan tersebut, mengemukalah beberapa kemungkinan yang barangkali bisa dihelat secara bersamaan. Pertama, alek pacu itiak. Sebuah permainan anak nagari masyarakat agraris. Kedua, palanta Taruko, yaitu sebentuk pengelolaan pelaku usaha dan jasa di nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang dalam bentuk pasar rakyat. Ketiga, mendorong munculnya qori dan qoriah, yakninya para pembaca Al-quran dalam Musabaqah Tilawatil Quran. Dan keempat, pementasan seni pertunjukan, mulai dari kesenian tradisi, hingga religi. Baik itu yang digarap secara kreasi, populer maupun kontemporer.
Seperti yang dibayangkan, bagaimana kemudian sebuah festival tidak hanya sebagai perayaan dengan seremonial-seremonial dengan mempertunjukkan kegagahan semata. Barangkali, Legusa Fest ingin melampaui itu, bahwa festival menjadi medium baru untuk bisa menggerakkan masyarakat. Bahwa festival menjadi “alat” untuk mendorong pembangunan-pembangunan dalam masyarakat. Baik itu pembangunan sumber daya manusia, maupun pembangunan-pembangunan yang bersifat fisik. Karenanya, tentu Legusa akan menjadi ruang bersama bagi masyarakat, ruang silaturrahmi yang mempertemukan ragam maksud, ragam kepentingan, ekonomis, politis, spiritual, juga kesenian dan kebudayaan.