Warata Nagari -- Apa kiranya yang berbeda dari Ramadhan tahun ini di jorong Padang Panjang, nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Pd. Panjang, Kec. Luak, Kab. Lima Puluh Kota? Adalah gairah menjalani Ramadhan secara bergotong royong. Bagi mereka, di bulan suci ini rasanya begitu banyak jalan untuk mencari keberkahan. Gairah itu tidak hanya diwujudkan melalui ibadah amalan, pun juga melalui ibadah sosial. Lalu, bagaimana kemudian mereka mewujudkan gairah dalam berbagi keberkahan itu?
Pertama, pemuda dan pemudi yang selalu gelisah, yang ingin terus belajar, dimulai dengan satu pertanyaan penting. Apa sekiranya yang bisa dibuat untuk masyarakat mereka sendiri? Untuk menjawab itu, jauh sebelum Ramadhan mereka telah bersitungkin membenturkan gagasan masing-masing. Bagaimana kemudian di Ramadhan tahun ini tidak hanya diisi dengan kegiatan yang itu ke itu saja. Mereka membayangkan adanya pasa pabukoan, pertunjukan kesenian, babuko basamo, serta perlombaan-perlombaaan.
Setelah gagasan mulai mengerucut, terhitung dua minggu sebelum Ramadhan, pemuda dan pemudi ini mulai “aksi” untuk mewujudkan apa yang telah sama-sama digagas itu. Mereka ingin menggerakkan ekonomi masyarakat melalui pasa pabukoan. Untuk itu, mereka bergotong royong, mulai dari menebang bambu, memancang jalan, hingga mengukur jarak depa. Mereka bekerja siang dan malam. Maka jadilah pasa pabukoan untuk masyarakat. Lihat saja di sepanjang jalan menuju mesjid Mujahiddin, tepatnya di depan balai Adat jorong Padang Panjang beberapa lapak dari bambu didirikan dengan begitu sederhana.
Gairah pemuda-pemudi ini tampaknya ikut menjalar pula kesegenap masyarakat. Hal itu tampak dari cara mereka bekerja. Tidak hanya yang muda-muda, yang tua-tua yang mempunyai keterampilan bertukangpun mau dengan senang hati membantu tanpa diupah sekalipun. Meskipun pekerjaan itu dilakukan di sela-sela cemooh dan komentar-komentar pesimistis dari sebagian kecil kelompok masyarakat. Namun, bagi pemuda dan pemudi ini, yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana puasa kali ini bisa memberi berkah bagi masyarakat banyak. Barangkali dengan cara sederhana ini mereka bisa memberikan dorongan secara ekonomis kepada masyarakat kecil.
Suasana di lapak pasa pabukoan jorong Padang Panjang
Tak disangka-sangka pula, dari 15 lapak yang disediakan itu terisi penuh oleh masyarakat yang berjualan. Dan isinyapun lumayan langkok ganok pula. Mulai dari pabukoan, cindua, tebak, lauk pauk, hingga jajanan serba seribu ada dijual. Untuk lapak-lapak ini, sebagai gantinya, panitia hanya meminta pengganti pembuatan lapak sebesar 50 ribu perlapak selama Ramadhan. Murah sekali tentunya. Jika dilihat dalam seminggu ini, setiap lapak setidaknya berjual beli rata-rata 300-500 ribuan. Jika dikalikan sebanyak lapak, dan dikalikan pula selama sebulan, tentu cukup banyak perputaran uang selama Ramadhan di jorongn Padang Panjang.
Kedua, di dalam mesjid, saban hari sebelum berbuka, induak-induak yang “manis-manis” juga tak kalah sibuk menata pabukoan atau takjil yang juga tak kalah manisnya. Pabukoan ini merupakan sumbangan dari masyarakat untuk siapa saja yang ingin berbuka bersama di mesjid Mujahiddin. Baik itu untuk warga jorong Padang Panjang sendiri, maupun musafir yang kebetulan sholat magrib di mesjid Mujahiddin.
Awalnya, rencana untuk membawakan makan ini sudah diwacanakan jauh-jauh hari. Bahkan, awalnya itu hanya untuk jemaah Jumat. Barangkali menarik juga setelah sholat jumat, makan dan minum bersama di mesjid. Karena memang majelis ini mempunyai dana kas. Namun, setelah ide ini dilempar ke forum masyarakat, tak disangka mendapatkan respon yang baik. Dan idenya menjadi berkembang. Kenapa tidak dimulai ketika Ramadhan ini, masyarakat bisa bisa berbuka bersama di mesjid.
Keseruan babuko basamo di mesjid Mujahiddin jorong Padang Panjang
Akhirnya, setelah Ramadhan tiba memang ada saja masyarakat yang ingin mengantarkan pabukoan ke mesjid. Sehingga, di mesjid malah kebanjiran pabukoan. Hal ini ternyata juga mendorong masyarakat, pemuda dan pemudi untuk berbuka bersama di mesjid, seraya setelahnya melaksanakan sholat magrib berjamaah.
Tak hanya itu, rupanya induak-induak dari majlis Mujahiddin ini, jauh sebelum Ramadhan juga telah mengumpulkan para donatur yang mau mendonasikan sedikit uang saku mereka. Donasi ini dikhususkan untuk biaya akomodasi para penceramah selama Ramadhan. Hal ini, dilatarbelakangi oleh hal-hal yang memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Diantaranya, kebiasaan masyarakat jorong Padang panjang yang suka berbagi, mempertahankan jamaah sholat Magrib agar tetap ramai seperti hari biasa, mengajak pemuda dan masarakat umumnya untuk menjadikan mesjid sebagai pusat kegiatan amalan dan sosial.
Tidak tanggung-tanggung, lebih dari 50 orang donatur yang dengan senang hati mau memberikan donasinya. Artinya, panitia Ramadhan tidak perlu lagi memikirkan uang keluar untuk biaya penceramah.
Yang manis-manis sebelum waktu berbuka
Agaknya, apa yang dilakukan oleh induak-induak majlis Mujahiddin serta pemuda dan pemudi ini, tentu akan menjadi catatan amalan tersendiri bagi mereka. Tentu tidak hanya bagi penggagas, juga membuka ladang amal bagi masyarakat untuk senantiasa bersedekah di bulan penuh berkah ini.
Barangkali, khususnya bagi pemuda dan pemudi, gairah ingin berbuat ini bisa kita baca sebagai sebuah potensi. Potensi yang tentunya perlu difasilitasi. Ibarat sebuah perasaan cinta muda-mudi. Tentu rasa cinta itu harus diutarakan. Persoalan diterima atau tidak tentu urusan belakangan. Setidaknya mereka sudah mengartikulasikan apa yang ada dalam pangona mereka. Nah, tentu ekspresi-ekspresi serupa ini tentu mesti harus dicarikan jalan keluarnya. Bagaimana kemudian masyarakat ataupun pemerintah nagari bisa memfasilitasinya. Jika tidak penuh ke atas, penuh ke bawahpun tentu itu sangat membantu.